Indonesia sebagai suatu negara yang diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding father se-bagai negara dengan konsep negara hukum (Rechtsstaat/The Rule of Law). Hal ini sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 (UUD1945),bahwa“Negara Indonesia adalah negara hukum.
Sebagai negara hukum, maka hukum merupakan satu sistem yang di dalamnya terdapat
(1) elemen kelembagaan (elemen insti-tusional;
(2) elemen kaidah aturan (elemen instrumental); dan
(3) elemen perilaku para subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan (elemen subjektif dan kul-tural). Adapun ketiga elemen sistem hukum, mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making), (b) kegiatan pelaksanaan hukum atau penerapan hukum (law administrating), dan (c) kegiatan peradi-lan atas pelanggaran hukum (law adjudicating) atau yang biasa disebut dengan penegakkan hukum dalam arti sempit (law enforcement) (Asshiddiqie (1), 2009: 3).
Terdapat tujuh faktor penghambat penegakan hukum di Indonesia, ketujuh faktor tersebut yai-tu
- Lemahnya political will dan political action para pemimpinnegaraini,untukmenjadihukumse-bagai panglima dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kata lain, supremasi hukum masih sebatas retorika dan jargon politik yang didengungdengungkan pada saat kampanye;
- Peraturan pe-rundang-undangan yang ada saat ini masih lebih merefeksikan kepentingan politik penguasa ketim-bang kepentingan rakyat;
- Rendahnya integritas moral, kredibilitas, profesionalitas dan kesadaran hukum aparat penegak hukum (Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat) dalam menegakkan hukum;
- Min-imnya sarana dan prasana serta fasilitas yang mendukung kelancaran proses penegakan hukum;
- Tingkat kesadaran dan budaya hukum masyarakat yang masih rendah serta kurang respek terhadap hukum;
- Paradigma penegakan hukum masih positivis-legalistis yang lebih mengutamakan tercapainya keadilan formal (formal justice) daripada keadilan substansial (substantial justice);
- Ke-bijakan (policy) yang diambil oleh para pihak terkait (stakeholders) dalam mengatasi persoalan pene-gakan hukum masih bersifat parsial, tambal sulam, tidak komprehensif dan tersistematis. (Jazuli (2016: 192-193).
Berdasarkan studi ilmu hukum tiga asas sebagaimana dimaksud merupakan pilar penting da-lam memahami konstruksi hukum perundangundangan di Indonesia secara detail dapat dijelaskan bahwa: (Sihombing, 2016: 100).
- a) Asas lex superior de rogat lex inferior, peraturan yang lebih tinggi akan mengesampingkan peraturan yang lebih rendah apabila mengatur substansi yang sama dan bertentangan.
- b) Asas lex specialist derogat lex generalis, peraturan yang lebih khusus akan mengesampingkan peraturan yang umum apabila mengatur substansi yang sama dan bertentangan.
- c) Asas lex posterior de rogat lex priori, peraturan yang baru akan mengesampingkan peraturan yang lama.
Amandemen UUD 1945 pada periode 1999- 2002, telah banyak membawa perubahan dalam perkembangan sistem hukum, salah satunya dengan penerapan pengujian di bidang perundangundangan. Dalam UUD 1945, telah menentukan kebijakan dasar bahwa kekuasaan kehakiman diberi hak menguji (toetsingsrecht) peraturan perundang-undangan. Mahkamah Konstitusi (MK) berwenang menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Sementara itu, Mahkamah Agung (MA) ber-dasarkan undangundang berwenang menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang. (Soebechi, 2016: vi).
Pada Pasal 20 ayat (2) huruf (b) UndangUndang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Ke-hakiman, menyatakan Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Selanjutnya, pada Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan (P3) yang menyatakan, dalam hal suatu peraturan perundang-undangan di bawah undangundang diduga bertentangan dengan undangundang pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Ketentuan hak menguji Mahkamah Agung sebelumnya diatur dalam Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dimana pada Pasal 26 menyatakan, bahwa
(1) Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua perundangundangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
2) Putusan tentang tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Dalam ketentuan Pasal 8 Ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3), menegaskan adapun jenis peraturan perundang-undangan selain se-bagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1) tentang hierarki peraturan perundangundangan, juga mencakup peraturan yang ditetapkan oleh lembaga negara, diantaranya adalah Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
Sebagaimana yang telah diatur dalam ketentuan UU No.12 Tahun 2011, Mahkamah Agung yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, juga terhadap per-aturan yang dibuat oleh lembaga-lembaga negara, salah satunya Peraturan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Terkait dengan proses pengujian Peraturan Tata Tertib (Tatib) DPD, Putusan Mahkamah Agung Nomor 38P/HUM/2016 telah membatalkan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016. Peraturan tersebut dinyatakan bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Sedangkan, Putusan Mahkamah Agung Nomor 20P/HUM/2017, merupakan putusan yang membatalkan Peraturan DPD-RI Nomor 1Tahun 2017TentangTataTertib. Di dalam putusannya, Peraturan DPD-RI Nomor 1 Tahun 2017 dinyatakan bertentangan dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Adapun basis persoalan di dalam kedua peraturan DPD-RI tersebut sama, yakni pengaturan masa jabatan Ketua DPD-RI selama 2,5 tahun. Pasca putusan Hak Uji Materil Mahkamah Agung yang menganulir Tatib DPD, menimbulkan kisruh secara internal di kelembagaan DPD menyangkut pemilihan pimpinan DPD.
Hal ini ditambah dengan keterlibatan MA secara kelembagaan melalui Wakil Ketua MA dalam proses pelantikan terhadap Pimpinan DPD terpilih. Di satu pihak MA membatalkan ketentuan dasar dalam proses pemili-han pimpinan DPD, tetapi di lain pihak MA justru “merestui” pengangkatan pimpinan DPD. Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan sifat putusan MA yang tidak menentukan putusan serta-merta, menjadi problematika pengangkatan pimpinan DPD terhadap legalitas secara hukum. Maka, dalam tulisan ini akan diuraikan “Implikasi Sifat Putusan Hak Uji Materil Mahkamah Agung Terhadap Legali-tas Pemilihan Pimpinan DPD”.
Dengan demikian, dalam penelitian ini akan diuraikan permasalahan, pada bagian pertama akan menggambarkan bagaimana konsep pengujian perundang-undangan, dilanjutkan pada permasalahan kedua terhadap sifat putusan Mahkamah Agung dalam Hak Uji Materil sebagaimana yang ditegaskan dalam konstitusi terhadap kewenangan Mahkamah Agung. Selanjutnya dalam permasalahan ketiga, penulis akan mengupas analisis putusan Mahkamah Agung terhadap legal-itas pimpinan Dewan Perwakilan Daerah pasca putusan Hak Uji Materil Mahkamah Agung Nomor 20P/HUM/2017.
Sumber : Andryan