Ketua Ombudsman RI 2021-2026, Mokhammad Najih SH MH PhD mengatakan, ada 5 visi pemerintahan Jokowi untuk Indonesia 2019-2024, salah satunya adalah Reformasi Birokrasi. Visi Reformasi Birokrasi ini diharapkan mampu membawa pemerintahan Indonesia menuju Birokrasi Tingkat Dunia
“Di tengah dinamika perkembangan dunia yang begitu cepat, mau tidak mau tatanan birokrasi pemerintahan Indonesia dituntut mampu untuk beradaptasi, sehingga cita-cita menjadi Birokrasi Tingkat Dunia itu bisa diwujudkan. Dan kondisi ini juga tentunya menjadi tantangan bagi Ombudsman untuk bisa memaksimalkan peran dalam rangka melakukan pengawasan pelayanan publik yang adaptif, produktif, inovatif dan kompetitif menuju birokrasi kelas dunia itu,” ujar Najih saat memberikan Kuliah Umum dalam acara “Pendadaran Mahasiswa peserta Klinis Hukum dan Peradilan Semu Fakultas Hukum UMSU 2021-2022” di Aula Kampus Utama UMSU,Jalan Kapten Mukhtar Basri Medan, Kamis (27/1/2022).
Najih mengungkapkan, saat ini tata kelola pemerintah sedang berhadapan dengan situasi yang disebut dengan VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexcity, Ambiguitas).
Dijelaskannya, Volatility adalah situasi yang tidak stabil untuk periode yang tidak diketahui dan berpotensi menyebabkan kerugian bagi bisnis perusahaan
Uncertainty, adalah ketidakpastian dalam lingkungan kerja mengacu pada kurangnya informasi tentang hal tertentu Hal ini menyebabkan kesulitan mengantisipasi peristiwa dan meninggalkan kita dengan output yang tidak jelas.
Complexity, adalah anyak faktor yang tumpang tindih mempengaruhi keputusan tertentu
Sedangkan Ambiguity, situasi tanpa hubungan sebab-akibat yang jelas, sifatnya baru dan belum pernah terjadi sebelumnya sehingga tidak dapat diprediksi, penyebab dan dampaknya juga tidak diketahui
Lompatan perkembangan dunia di era society 5.0 yang begitu cepat akibat kemajuan teknologi digital, juga menuntut proses pelayanan publik makin cepat.
“Situasi VUCA ini menjadi tantangan bagi tata kelola pemerintahan kita. Begitu juga bagi Ombudsman RI sebagai lembaga negara yang berfungsi melayani pelayanan publik, ini adalah tantangan yang sangat besar. Wilayah pengawasan kita sangan luas, mulai dari pemerintahan tingkat pusat hingga ke desa, sementara struktur kita hanya ada sampai di tingkat provinsi saja,” kata Najih
Kondisi ini, lanjut Najih, juga menuntut dunia perguruan tinggi, khususnya Fakultas Hukum untuk bisa beradaptasi. Ditegaskannya, ke depan Fakultas Hukum akan dihadapkan kepada tantangan-tantangan baru, bahwa locus dari setiap peristiwa hukum itu tidak lagi selalu nyata, tapi ada sisi yang tidak nyata
“Sementara kita di Fakultas Hukum diajari locus itu adalah tempat yang wujudnya nyata. Bagaimana kalau terjadi kriminalitas dalam dunia maya?. Bagaimana kalau terjadi kontrasaksi hukum yang tidak diatur dalam undang-undang kita? Maka menurut saya hal ini perlu untuk dikaji. Sebab setahu saya belum banyak sarjana hukum di negeri ini yang mendalami hukum telematika yang terkait dengan dunia internet, relasi telekomunikasi dan beberapa perangkat lain yang memiliki kompleksitas yang luar biasa. Semua ini jadi tantangan,” kata Najih
Najih mengakui, tantangan ini adalah pekerjaan yang tidak mudah. Sebagai orang yang belajar studi hukum, sesungguhnya kadang para akademisi dan praktisi hukum terjebak dalam positivisme.
“Sesuatu yang sudah normatif itulah yang harus kita kerjakan. Tetapi dalam masyarakat society 5.0 kita tidak bisa lagi sekedar mengandalkan cara pandang positivistik. Kita harus berpikir lebih progresif, selalu berpikir bagaimana kehidupan masyarakat ke depannya,” tukasnya
“Perubahan paradigma ini harus kita lalukan. Terlebih dalam konteks pendidikan Muhammadiyah kita selalu diajarkan untuk selalu berpikir dalam kerangka kemajuan, berpikir melampaui zaman yang sedang kita hadapi,” tutupnya. (*)