Review Film “Pengepungan di Bukit Duri”: Teror Distopia dan Luka Sosial dalam Bingkai Refleksi Bangsa
“Pengepungan di Bukit Duri” bukan sekadar film thriller penuh aksi yang mencekam. Karya ke-11 Joko Anwar ini adalah ledakan keresahan yang disusun rapi dalam balutan sinema distopia. Setelah naskahnya disimpan selama 17 tahun, film ini akhirnya dirilis dan langsung mengundang gelombang emosi—dari amarah, trauma, hingga harapan. Tidak berlebihan jika menyebut ini sebagai film paling penting yang pernah dibuat Joko Anwar.
Distopia yang Terasa Terlalu Dekat
Sejak menit pertama, Joko Anwar tidak bermain-main. Ia membuka film dengan gambaran Indonesia tahun 2027—sebuah dunia fiktif yang suram, namun tak terasa asing. Kerusuhan, penjarahan, kekerasan rasial, dan diskriminasi etnis mewarnai latar belakang yang membangkitkan memori kolektif akan tragedi 1998.
Ketegangan sosial, kerusakan sistem pendidikan, dan trauma antar-generasi disajikan tanpa basa-basi. Seolah Joko Anwar ingin menegaskan: ini bukan fiksi sepenuhnya—ini refleksi. Penonton seperti diajak bercermin pada luka bangsa yang belum sembuh, dan mungkin saja bisa terulang.
Kisah Terjebak dalam Kekerasan yang Nyata
Ceritanya berpusat pada Edwin (diperankan dengan sangat baik oleh Morgan Oey), seorang guru seni berdarah Tionghoa yang ditugaskan mengajar di SMA Bukit Duri—sekolah buangan bagi murid-murid “bermasalah”. Namun di hari pertamanya, ia justru terkepung oleh sekelompok siswa brutal yang dipimpin Jefri (Omara Esteghlal).
Gedung sekolah menjadi latar utama, menjadikan film ini sebagai semacam chamber drama, mengingatkan pada “The Breakfast Club”, namun versi gelap, keras, dan penuh luka. Ketegangan psikologis dan fisik bertumpuk, menjadikan ruang kelas sebagai arena pertempuran gagasan, dendam, dan kemanusiaan.
Kekerasan, Rasisme, dan Dunia Pendidikan
Tak hanya menyuguhkan thriller penuh darah, “Pengepungan di Bukit Duri” juga berani menyuarakan keresahan yang selama ini seringkali disingkirkan dari ruang diskusi publik. Isu rasisme terhadap etnis Tionghoa, kerusakan sistem pendidikan, serta trauma kolektif generasi muda Indonesia, dibedah dalam lapisan-lapisan cerita yang emosional dan menggugah.
Lewat karakter-karakternya, Joko Anwar mempertanyakan: bagaimana sistem yang seharusnya melindungi justru menciptakan lingkaran kekerasan? Apakah benar murid-murid itu hanya “berandalan”, ataukah mereka korban dari sistem yang abai?
Akting, Sinematografi, dan Pesan Sosial
Akting para pemerannya solid. Morgan Oey tampil menahan luka dengan tenang namun tajam. Sementara Omara Esteghlal berhasil mencuri perhatian lewat tatapan dan bahasa tubuh yang mencekam. Bahkan dalam adegan tanpa dialog, intensitas emosinya terasa.
Sinematografi film ini juga pantas diacungi jempol. Tata visualnya suram, penuh tekstur dan simbol, memperkuat nuansa distopia dan kekacauan batin tokoh-tokohnya. Beberapa grafiti dan poster di dinding menjadi “suara diam” yang menyampaikan kritik sosial dengan cerdas.
Bukan Horor, Tapi Mengerikan
Meski bukan bergenre horor seperti karya Joko sebelumnya, film ini terasa lebih mengerikan. Sebab, horornya bukan datang dari hantu, tapi dari wajah manusia dan sejarah kelam yang bisa kapan saja berulang. Joko dengan berani menghadirkan kekerasan rasial secara eksplisit—tidak untuk menakuti, melainkan untuk mengingatkan.
Di balik semua kengerian itu, terdapat pertanyaan moral: sudahkah kita sebagai bangsa memberi ruang untuk penyembuhan? Sudahkah keadilan benar-benar ditegakkan? Atau kekerasan hanya kita bungkam dengan diam?
Kesimpulan: Sebuah Ajakan Refleksi
“Pengepungan di Bukit Duri” adalah film yang tidak mudah ditonton, tetapi wajib untuk ditonton. Ini bukan tontonan hiburan semata, melainkan pengalaman emosional yang bisa mengguncang, menyadarkan, sekaligus memantik diskusi penting tentang siapa kita sebagai bangsa.
Joko Anwar tidak hanya mengajak penonton ikut “terjebak” dalam SMA Bukit Duri, tetapi juga mengajak untuk memikirkan bagaimana cara kita keluar dari “pengepungan” kekerasan, diskriminasi, dan trauma sejarah. Sebuah karya berani yang menjadi titik balik dalam perfilman Indonesia—dan semoga juga titik balik bagi kesadaran sosial kita.
Rating: 9/10
Untuk penonton dewasa yang siap merenung, bukan hanya menikmati.
Sudahkah kita cukup peduli untuk mencegah sejarah kelam itu terulang?