Baru-baru saja gempar akan berita tentang seorang perempuan di Aceh dicambuk 100 kali. Namun, apa yang menyebabkan perempun tersebut dihukum cambuk sebanyak 100 kali ? hukuman cambuk diaceh merupakan hukuman yang telah ditetapkan pada pemerintahan Aceh. Di wilayah Aceh masih menerapkan hukum cambuk bagi warganya yang melanggar syariat Islam, terutama pelaku perzinaan. tercantum dalam Qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, Aceh merupakan bagian dari NKRI dengan adanya keistimewaan dan otonomi khusus.
Dalam rumusan HAM dalam dokumen PBB yang kemudian diadopsi oleh hukum positif di Indonesia menerangkan HAM adalah hak yang sudah didapat oleh setiap manusia sebagai konsekuensi ia dilahirkan manjadi manusia. John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 juga disebutkan bahwa: “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Semenjak Aceh di proklamirkan sebagai Negeri Syari‟at dan mulai diterapkannya hukum cambuk beberapa tahun silam, banyak tantangan berdatangan terhadap penerapan syariat Islam di Aceh, baik datang dari pihak non muslim maupun dari pihak muslim yang sekuler. Protes-protes yang diberikan dengan berbagai macam alasan yang sudah disebutkan di atas.
Yang menjadi pokok persoalan paling kontroversial dalam penerapan Qanun Jinayat di Aceh adalah mengenai ketentuan uqubat cambuk tersebut. Apabila di kumpulkan, ada beberapa reaksi dari publik tentang uqubat cambuk ini. Seperti, menolak Qanun jinayah yang masih mencantumkan hukuman yang di nilai melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan merendahkan martabat kemanusiaan, kelompok ini biasanyadiwakili oleh para aktivis HAM.
Ketentuan hukuman badan seperti cambuk bertentangan dengan HAM Internasional dan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia khususnya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
HAM dalam versi barat bersifat antroposentrisme yang menekankan kepada hak individu dan melepaskan manusia dari setingnya yang terpisah dengan Tuhan. Sedangkan dalam Islam, HAM bersifat theosentris yang memiliki sifat ketuhanan. Dalam pengertian demikian, manusia bekerja sesuai dengan kesadaran dan kepatuhan kepada Allah, dan bahwa HAM adalah anugerah Tuhan, dan setiap orang bertanggung jawab terhadap Tuhan. Selain Saifuddin Bantasyam, Amin Suma selaku ahli hukum syariah