Reformasi konstitusi sebagai salah satu agenda yang timbul seiring dengan tuntutan untuk proses bernegara yang lebih demokratis. Gerakan-gerakan yang berkembang pada waktu itu merupakan suatu wujud kristalisasi keinginan rakyat untuk mengevaluasi kembali kondisi kenegaraan yang berada pada posisi krisis.1 Tuntutan reformasi melalui perubahan UndangUndang Dasar 1945 tersebut telah mengakibatkan banyak terjadinya perubahan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Salah satu atas perubahan tersebut terjadi dalam hal kelembagaan negara dengan bertambahnya lembaga beberapa lembaga negara, salah satunya adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang dilaksanakan pada tahun 2001 dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, secara yuridis sebagai dasar kehadiran lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yaitu Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia yang diatur dalam Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945.
DPD sebagai lembaga negara hasil dari rezim reformasi awalnya sebagai lembaga Utusan Daerah di dalam komposisi keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang mana terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah utusan daerah dan utusan golongan. Kemudian muncul tuntutan agar “Utusan Daerah” dalam MPR diwujudkan dalam bentuk Dewan Perwakilan Daerah.2 Sebagai tindaklanjut dari Pasal 22D UUD 1945, pengaturan dalam peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan DPD diatur dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).
UU tersebut merupakan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kehadiran DPD sebagai lembaga baru hasil perubahan UUD 1945 merupakan konsekuensi dari perubahan Pasal 1 ayat (2) sebagai upaya untuk mengoptimalkan dan meneguhkan paham kedaulatan rakyat. Ketentuan fungsi bidang legislasi DPD semakin diperlemah sebagaimana dalam Pasal 22D ayat (2) UUD 1945.
Kritik terbesar dalam fungsi legislasi DPD adalah keterlibatan DPD dibatasi sampai pembahasan Tingkat I. Padahal, UUD 1945 memungkinkan DPD ikut sampai pada proses yang berlangsung di Tingkat II. Secara konstitusional, DPD tidak mungkin ikut memberikan persetujuan terhadap sebuah rancangan undang-undang karena UUD1945 memberikan batasan yang tegas bahwa persetujuan hanya menjadi wewenang DPR dan Presiden.3 Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 92/PUU-X/2012 telah mengembalikan kewenangan DPD yang sebelumnya direduksi oleh UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3). Hal ini disambut baik oleh DPD yang selama ini hanya menjadi bayangbayang dibawah dominasi DPR; dominasi berlebihan yang mencederai sistem bikameral yang konon dibentuk untuk tujuan mulia yaitu terciptanya sistem check and balance yang baik. Dalam beberapa poin gugatan yang diajukan DPD, 4 (empat) poin diantaranya merupakan pokok eksistensi dan jati diri DPD sebagai lembaga negara yang perlu ditegakkan kembali sebagaimana telah diamanatkan oleh UUD 1945, yaitu : (1) Kewenangan DPD dalam mengajukan RUU setara dengan DPR dan Presiden; (2) Kewenangan DPD ikut membahas RUU; (3) Kewenangan DPD memberikan persetujuan atas RUU; dan (4) Keterlibatan DPD dalam menyusun Prolegnas.
Sumber : Andryan