Refleksi Hardiknas 2025: Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu bagi Semua
Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), momen penting untuk meninjau kembali arah dan tujuan pendidikan nasional. Pada tahun 2025, seiring dengan delapan dekade kemerdekaan Indonesia, tema yang diangkat oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah adalah “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua.” Tema ini menjadi seruan moral bagi seluruh lapisan masyarakat untuk bergotong royong membangun sistem pendidikan yang berkualitas, adil, dan relevan bagi seluruh anak bangsa.
Namun, di balik semangat optimisme ini, muncul kenyataan yang patut disorot: turunnya integritas dalam dunia pendidikan nasional.
Cermin Suram Integritas Pendidikan
Menurut Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 yang dirilis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), skor integritas pendidikan hanya mencapai 69,50—mengalami penurunan drastis dari skor 73,7 pada tahun sebelumnya. Survei ini dilakukan secara luas, mencakup lebih dari 36 ribu satuan pendidikan di seluruh Indonesia dan melibatkan hampir 450 ribu responden.
Hasil ini menunjukkan bahwa nilai-nilai integritas belum benar-benar mengakar dalam praktik pendidikan sehari-hari. Fenomena menyontek masih ditemukan di 78% sekolah dan 98% perguruan tinggi. Lebih mengejutkan lagi, 45% siswa dan 84% mahasiswa terjerat ketidakdisiplinan akademik. Praktik pemberian hadiah kepada guru demi nilai juga terjadi di 22% sekolah.
Fenomena ini menandakan bahwa idealisme pendidikan mulai digantikan oleh orientasi pada pencapaian instan. Esensi pendidikan sebagai proses pembentukan karakter tergeser oleh formalitas administratif yang mengabaikan nilai-nilai moral.
Menelaah Kembali Hakikat Pendidikan
Situasi ini menuntut refleksi mendalam. Kita perlu mengajukan pertanyaan fundamental: Apakah pendidikan saat ini benar-benar membentuk manusia seutuhnya, atau hanya sekadar memenuhi standar pengajaran?
Tokoh-tokoh besar seperti Plato dan Aristoteles telah lama menekankan bahwa pendidikan sejati harus mencakup dimensi intelektual, moral, dan emosional. Plato menganggap pendidikan sebagai sarana mencapai kebenaran dan kebaikan, sedangkan Aristoteles menyatakan bahwa tujuan akhir pendidikan adalah kehidupan yang bermakna (eudaimonia) melalui pembentukan akal dan kebajikan.
Di Indonesia, Ki Hadjar Dewantara telah merumuskan filosofi pendidikan yang berlandaskan pada pembebasan individu, penghormatan terhadap budaya lokal, dan penguatan karakter. Prinsip-prinsip seperti tut wuri handayani dan ing ngarsa sung tulada seharusnya menjadi jiwa pendidikan kita, bukan sekadar slogan.
Regulasi Sudah Maju, Praktik Masih Tertinggal
Secara normatif, sistem pendidikan Indonesia sudah memiliki dasar hukum yang kuat. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan harus membentuk manusia Indonesia yang beriman, berilmu, kreatif, dan bertanggung jawab.
Namun di lapangan, pendidikan masih terlalu fokus pada aspek kognitif dan keterampilan teknis. Dimensi afektif—yakni pembentukan sikap dan karakter—sering kali diabaikan. Proses belajar masih terjebak dalam hafalan dan pencapaian nilai, bukan pada pemahaman nilai-nilai kehidupan yang sejati.
Pendidikan Lebih dari Sekadar Mengajar
Pendidikan ideal mencakup berbagai tahapan: mulai dari pengasuhan anak usia dini, pembiasaan sikap positif, proses pengajaran, hingga pembinaan sikap hidup. Namun realitas menunjukkan dominasi paradigma pengajaran yang sempit, tanpa menyentuh akar pembentukan kepribadian.
Penanaman nilai moral dan sosial seperti kejujuran, empati, dan tanggung jawab masih minim. Banyak peserta didik hanya mengetahui nilai-nilai Pancasila secara teoritis, tanpa internalisasi yang nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Urgensi Pembinaan Sikap Hidup
Tujuan akhir pendidikan adalah pembentukan sikap hidup, yaitu kecenderungan batin yang mendorong seseorang untuk memilih kebaikan dalam berbagai situasi. Ini memerlukan proses internalisasi nilai yang panjang, reflektif, dan konsisten.
Pemikir seperti Alex Lanur, Zygmunt Bauman, dan Pierre Bourdieu menegaskan bahwa pembentukan karakter bukan sekadar hasil pengajaran, melainkan produk dari lingkungan, kebiasaan, dan nurani moral.
Ketika pendidikan hanya mengajarkan tanpa mendidik, maka muncul generasi yang cerdas secara intelektual tetapi rapuh secara etika.
Analogi Sederhana: Mendidik Ibarat Menumbuhkan Pohon
Mengajar bisa diibaratkan seperti memberi air dan pupuk pada pohon agar tumbuh. Tapi mendidik adalah memastikan pohon itu tumbuh kuat, berbuah lebat, dan memberi manfaat bagi sekitarnya. Tanpa pendidikan karakter, ilmu dan keterampilan bisa saja disalahgunakan.
Penutup: Pendidikan Bermutu untuk Semua Bukan Sekadar Wacana
Momentum Hardiknas 2025 harus menjadi panggilan moral untuk kembali kepada ruh pendidikan yang sesungguhnya. Pendidikan bukan hanya alat untuk mengejar prestasi, tapi sarana membentuk manusia utuh yang berintegritas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi masyarakat.
Mari kita wujudkan kolaborasi nasional—partisipasi semesta—untuk menciptakan pendidikan yang tak hanya bermutu secara akademik, tetapi juga bermakna secara moral. Pendidikan yang demikianlah yang benar-benar “untuk semua”.
Selamat Hari Pendidikan Nasional 2025. Mari kita mendidik, bukan sekadar mengajar.