Dekan Fakultas Hukum UMSU Dr Faisal, S.H., M.H, menjadi narasumber pada kegiatan pdpm kota Medan bertajuk diskusi publik pencegahan dan penanganan kekerasan seksual penerapan dan polemik Permendikbud nomor 30 tahun 2021 ditinjau dari sisi hukum dan agama. (16/12/21)
Dalam kegiatan tersebut hadir juga Prof Faisal Ananda M.A, dan moderator Ismail koto, S.H., M.H.
Dalam penyampaiannya Doktor Faisal Dekan Fakultas Hukum UMSU menyampaikan bahwa banyak problem yang terjadi setelah dikeluarkannya Permendikbud ini.
Dr. Faisal mengatakan Mulai dari adanya inkonsistensi landasan filsafat di dalam konsiderans dengan norma di dalam pasal-pasalnya, konflik norma, adanya multi interpretasi dan logika hukum yang bias. Jika boleh dianalogikan, Permendikbud 30/2021 seperti jaring penangkap ikan yang bolong, sehingga jaringnya tidak efektif dan menyebabkan ikannya selamat dari tangkapan jaring.
Karena itu, jika Permendikbud 30/2021 konsisten dengan menegakan semangat itu maka moral pancasila harus terejawantah di dalam pasal-pasal Permendikbud 30/2021, terutama di dalam Pasal 5 agar kekerasan seksual—baik disetujui oleh korban atau tidak disetujui— dilarang dan diberikan sanksi bagi siapa yang melanggarnya.
Dari sini terlihat ada inkonsistensi dimana perbuatan kekerasan seksual tertentu tidak dilakukan kriminalisasi jika perbuatan tersebut mendapat persetujuan dari korban. Batapa filsafat di dalam muatan Pasal 5 sangat liberalistik dan sarat dengan individualisme, bertolak belakang dengan moral Pancasila yangmana sila pertama merupakan causa prima (landasan teologis) yang mendasari dan menjiwai sila setelahnya.
Di sisi lain Doktor Faisal menyampaikan bahwa Pasal 1 Permendikbud 30/2021 memberikan definisi kekerasan seksual, yaitu “setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal”.
Dari definisi yang ditetapkan ini secara eksplisit jelas bahwa setiap perbuatan “..merendahkan, menghina, melecehkan…” merupakan perbuatan pelecehan seksual, tetapi lagi-lagi di dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, j, l dan m terdapat pengecualian. Dalam ketentuan ini mengandung konflik norma (conflict of norm) seolah-olah ada dua macam kekerasan seksual.
Norma ini sangat problematik dari segi penyusunan peraturan perundang-undangan yang mensyaratkan adanya konsistensi dalam setiap penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana Pasal 5 huruf c UU 12/2011. Sangat terlihat rancu dan bias norma. Norma ini yang saya katakan jaring bolong karena akan digunakan bagi pelaku pelecehan seksual, sehingga efektifitasnya menjadi terganggu.
Walaupun rumusan norma yang lain di dalam Permendikbud 30/2021 sangat baik dan berdasarkan konsepsi kekerasan seksual yang mutakhir, seperti terkait definisi kekerasan seksual melalui teknologi, adanya perspektif dan penanganan korban, adanya upaya preventif dan represif, tetapi adanya sederet problem di atas cukup mengganggu efektifitas Permendikbud 30/2021. Terutama keberadaan dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, f, g, h, j, l dan m yang akan digunakan sebagai senjata ampuh bagi para predator seksual intelektual yang ada di perguruan tinggi.
Dengan demikian, menjadi penting bagi Mendikbud Nadhiem Makarim, untuk segera mengambil langkah yang responsif dengan melakukan revisi terhadap beberapa pasal yang menjadi permasalahan dengan menggandeng stakeholders yang konsen dibidang kekerasan seksual, keperempuanan, akademisi dan para pakar hukum, guna mendapatkan formulasi yang sesuai dengan semangat diterbitkannya Permendikbud 30/2021, yaitu melindungi warga negara dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual berbasis moral Pancasila.