Perjanjian Renville
Perjanjian Renville dinamai sesuai dengan kapal yang menjadi tempat perundingannya, yaitu kapal milik Amerika Serikat, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
Pada tanggal 17 Januari 1948, perjanjian ini ditandatangani oleh perwakilan Indonesia, P.M. Amir Sjarifoeddin, dan Belanda. Perundingan ini dimediasi oleh Komisi Tiga Negara yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Tujuannya adalah untuk mencapai kesepakatan atas konflik antara Indonesia dan Belanda.
Isi Perjanjian Renville
Isi dari perjanjian Renville dapat dijelaskan sebagai berikut:
-
Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.
-
Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda.
-
Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta.
Dampak Perjanjian Renville
Dampak setelah terjadinya perundingan Renville adalah sebagai berikut:
-
Secara politis, wilayah kekuasaan Indonesia semakin menyempit
Dengan ditetapkannya garis Van Mook yang disetujui oleh pihak Indonesia yang diwakili oleh PM Amir Syarifudin, wilayah Indonesia yang dikuasai oleh Belanda semakin luas.
Hal ini berdampak pada terbatasnya ruang gerak pemerintahan Indonesia dan melemahkan perjuangan revolusi Indonesia. -
Indonesia harus menyetujui didirikannya RIS
Perjanjian Renville memaksa pemerintahan Indonesia untuk membentuk pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), yang jauh dari cita-cita persatuan seluruh Indonesia. Hal ini memperlemah bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda.
-
Melemahkan kekuatan Indonesia secara militer
Pasukan gerilya Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah menjadi terbatas dalam perjuangan melawan Belanda. Hal ini mempermudah Belanda untuk menguasai wilayah-wilayah tersebut.
-
Secara ekonomi, terjadi blockade ekonomi dari Belanda
Memberikan kekuasaan politik yang menguntungkan Belanda dan memungkinkan mereka melakukan blockade ekonomi di berbagai wilayah Indonesia. Hal ini membuat perjuangan kemerdekaan semakin berat.
-
Jatuhnya Kabinet Amir Syarifudin
Perjanjian Renville yang dianggap menguntungkan Belanda membuat Amir Syarifudin digantikan oleh Moch. Hatta sebagai Perdana Menteri. Hal ini menimbulkan kekecewaan dari pihak Amir Syarifudin dan pengikutnya, yang menyebabkan terbentuknya poros sayap kiri yang dikenal sebagai Front Demokrasi Rakyat (FDR).