Ada 3 hukum di Indonesia yang saling melengkapi yang berkembang di masyarakat. Hukum civil, adat, dan hukum islam . Pluralisme hukum yang ada di Indonesia, meskipun sebagai hukum tdak tertulis justru mampu menjadi pemersatu, dan menjadi solusi bahkan menciptakan ketentraman dalam pergaulan hidup masyarakat.
Pluralisme hukum di Indonesia secara dinamis mengikut perkembangan masyarakatnya dengan tetap bertumpu pada karakteristk masyarakat adat dan pola pikir partciperend coschmish menarik minat para pakar dari penjuru dunia untuk dijadikan objek penelitan. Bahkan, saat ini nilai hukum adat digunakan dalam penyelesaian sengketa baik perdata maupun pidana dengan berkembangnya metode atau pendekatan yang dikenal dengan pendekatan restoratf (restoratve approach) , yang hampir mirip dengan pendekatan partciperend coschmish yang dianut oleh masyarakat adat. Implementasi pemulihan keadaan keseimbangan berdasarkan pola pikir partciperend coschmish tersebut, menjelma dalam beberapa upacara, pantangan atau ritus (rites de passage).
Fakta ini sedikit menunjukkan bahwa konsepsi dan pola pikir hukum yang hidup di masyarakat ternyata bukan saja masih relevan, melainkan menjadi inspirasi bagi negaranegara lain untuk mengembangkan hukum guna memenuhi rasa keadilan masyarakat. Masyarakat adat memiliki pola yang sama dalam menyelesaikan konfik di masyarakat, yakni mengontrol kehidupan dalam masyarakat dan menjatuhkan sanksi jika dilanggar sehingga pemulihan menjadi sangat efektf.
Contoh lain, Universitas Utrecht berupaya mendorong digunakannya musyawarah mufakat model masyarakat adat Melayu dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Dalam masyarakat Adat dan masyarakat Islam, penyelesaian sengketa melalui musyawarah merupakan hukum yang hidup dan dikenal hampir di setap lingkaran hukum (rechtskring). Penyelesaian sengketa melalui musyawarah ini selalu melibatkan kepala rakyat (ketua adat), baik dalam mencegah adanya pelanggaran hukum (preventeve rechtszorg) maupun memulihkan hukum (rechtsherstel).
Sebaliknya, Indonesia memberlakukan Undangundang Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatf Penyelesaian Sengketa sebagai pilihan penyelesaian di luar pengadilan, yang secara nyata terinspirasi oleh perkembangan penyelesaian sengketa di negara dengan common law system. Pentngnya hukum adat termasuk di dalamnya hukum Islam dalam menertbkan kehidupan masyarakat, maka diperlukan suatu upaya untuk melibatkan hukum Adat dan hukum Islam sebagai bagian dari sumber pembentukan hukum nasional. Dalam pandangan Mochtar Kusumaatmadja, hukum itu harus peka terhadap perkembangan masyarakat dan bahwa hukum itu harus disesuaikan dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Dalam teori hukum progresif,ditegaskan bahwa suatu proses pembentukan peraturan perundangundangan adalah mutlak harus memperhatkan nilai-nilai dan norma–norma hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakat (living law).
Romantsme keberlakuan hukum adat, hukum Islam dan hukum negara (civil law) dapat dilihat dari saling harmonisnya ketga sistem hukum tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa penerapan hukum civil yang kaku dan stats telah memunculkan legal gap di masyarakat. Legal tersebut dapat diatasi dengan menggunakan sistem hukum yang tdak tertulis yang feksibel senantasa mengikut perkembangan zaman, yakni melalui normanorma dan nilai-nilai dari hukum adat dan hukum Islam.
Von Savigny dalam mahakaryanya berjudul Von Beruf Unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtswisseschaf mengatakan bahwa hukum itu tdak dibuat, akan tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (Das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke). Hukum adat dan hukum Islam telah tumbuh dan berkembang di masyarakat jauh sebelum diberlakukannya hukum civil. Bahkan, pembangunan hukum Indonesia saat ini tdak lepas dari nilai-nilai yang terkandung dalam Hukum adat dan hukum Islam.