Perguruan tinggi wajib melaksanakan ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021.
Hal ini disampaikan Nadiem Makarim selaku Mendikbud Ristek yang dipublikasikan YouTube Kemendikbud RI, Jumat (12/11/2021), bertajuk “Merdeka Belajar episode 14: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual”.
Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi.
Nadiem mengatakan, kampus yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 dapat dijatuhi sanksi, mulai dari sanksi keuangan hingga sanksi akreditasi.
“Sanksi untuk perguruan tingginya, sanksi administratif kalau tidak melakukan proses PPKS ini sesuai dengan Permen ini, ada berbagai macam sanksi. Dari keuangan sampai akreditasi,” kata Nadiem.
Menurut Nadiem, pemberian sanksi untuk perguruan tinggi diperlukan agar kampus-kampus di Indonesia menyadari keseriusan pemerintah dalam menangani kekerasan seksual.
“Jadi ada dampakreal-nya. Kalau kita tidak melakukan ini, banyak kampus-kampus juga tidak akan merasakan urgensi daripada dan keseriusan pemerintah untuk menangani kekerasan seksual,” ujar Nadiem.
Sanksi untuk perguruan tinggi
Sanksi untuk perguruan tinggi yang tidak melaksanakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual diatur dalam Pasal 19 Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021.
Berikut bunyi pasal tersebut:
Pasal 19
Perguruan Tinggi yang tidak melakukan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dikenai sanksi administratif berupa:
- penghentian bantuan keuangan atau bantuan sarana dan prasarana untuk Perguruan Tinggi; dan/atau
- penurunan tingkat akreditasi untuk Perguruan Tinggi
Alasan perlunya Permendikbud
Nadiem mengatakan, alasan Permendikbud Ristek diperlukan adalah untuk menghadirkan rasa aman bagi segenap sivitas akademika yang berada di seluruh kampus di Indonesia.
Ia mengatakan, survei eksternal maupun internal Kemendikbud Ristek menunjukkan bahwa kekerasan seksual di lingkungan kampus telah menjadi momok berbahaya yang menjangkiti mayoritas perguruan tinggi.
“Kita dalam situasi darurat. Bisa dibilang situasi gawat darurat,” ujar Nadiem.
Menurut Nadiem, data aduan yang diterima Komnas Perempuan pada periode 2015-2020 menunjukkan bahwa 27 persen kasus kekerasan seksual terjadi di perguruan tinggi.
Sementara itu, survei internal Kemendikbud Ristek yang dilakukan dengan mewawancarai dosen-dosen dari seluruh perguruan tinggi Indonesia menemukan fakta bahwa 77 persen responden menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus.
Nadiem mengatakan, 63 persen dari kasus-kasus tersebut tidak dilaporkan.
“Jadi kita ini dalam fenomena gunung es, yang kalau tinggal kita garuk-garuk sedikit saja, fenomena kekerasan seksual ini di semua kampus sudah ada,” ujar dia.
“Itulah alasannya kita harus mengambil posisi, sebagai pemerintah, untuk melindungi mahasiswa-mahasiswa, dosen-dosen, dan tenaga pendidik kita dari kekerasan seksual,” kata Nadiem.
Nadiem mengatakan, penyusunan peraturan-peraturan yang tertuang dalam Permendibukd Ristek Nomor 30 Tahun 2021 berfokus pada perlindungan korban pelecehan seksual.
“Fokus daripada Permen ini adalah korban, korban, dan korban. Ini mohon dimengerti bagi banyak masyarakat. Kita melihat ini semua daripada perspektif korban,” kata Nadiem.
kompas.com